Beberapa mitos yang
berlaku di lingkungan masyarakat masih dijadikan acuan dalam soal penentuan
jenis kelamin. Misalnya saja ada teori jatuh cinta. Siapa yang jatuh cinta
lebih dulu, maka jenis kelamin anak akan mengikutinya.
Dengan kata lain, anak
pertama bakal lahir laki-laki karena saat pacaran, ayahnya yang jatuh cinta
lebih dulu. Sebaliknya, jika ibu jatuh cinta lebih dulu, akan memperoleh anak
pertama dengan jenis kelamin perempuan.
Ada juga yang mengaitkannya dengan makanan yang dikonsumsi calon
ibu. Jika anak perempuan yang diharapkan, maka calon ibu dianjurkan untuk makan
makanan yang enak-enak. Kalau berharap dapat anak lelaki, calon ibu harus diet
dengan mengkonsumsi makanan yang kaya protein tetapi rendah karbohidrat.
Bahkan, masyarakat Jepang percaya bahwa jenis kelamin anak yang
bakal lahir bisa diramal dari rambut di kuduk anak sebelumnya. Jika rambut di
kuduknya menyebar, maka anak berikutnya laki-laki. Tapi bila rambut kuduk
menyatu maka anak berikutnya perempuan.
Sementara itu, ada pula yang percaya, jika si wanita mengandung
anak perempuan, wajahnya terlihat pucat tetapi rajin berdandan. Bentuk perutnya
pun mirip telur dan condong ke bawah. Sedangkan bentuk perut yang menonjol ke
atas, bayinya laki-laki.
Posisi saat berhubungan intim, juga disebut-sebut berpengaruh
pada jenis kelamin anak. Calon ibu miring ke kanan untuk memperoleh bayi
laki-laki, miring ke kiri untuk mendapatkan bayi perempuan.
Yang sampai saat ini masih bertahan adalah pendapat bahwa kondisi
pria menjadi penentu jenis kelamin anak. Bila suami dalam kondisi lebih prima,
lebih kuat, jantan, akan memperoleh anak laki-laki. Istri pun dianjurkan untuk
mencapai puncak lebih dulu sebab pembuahan yang terjadi di awal hubungan masih
tampak segar, maka yang lebih dominan adalah kromosom Y yang gesit.
Jika pembuahan tanpa puncak dari pihak wanita maka lajunya pun
akan lebih lambat. Akibatnya, yang dominan adalah kromosom X.
CATAT SUHU TUBUH
Teori-teori atau mitos-mitos yang berlaku pada masyarakat
menggelitik para ahli untuk menyelidiki lebih jauh. Pada kenyataannya pun,
sudah lama sekali mereka meneliti, bagaimana sampai terjadi anak laki-laki dan
perempuan. Bahkan, penelitian ini sudah sampai pada bagaimana mengendalikan
jenis kelamin.
“Yang patut diketahui, faktor penentu jenis kelamin anak
ditentukan pada saat pembuahan terjadi,” ungkap Prof. Arjatmo. Yang paling
“bertanggung jawab” dalam hal ini adalah sperma ayah. Maksudnya, sperma ayah
inilah yang akan menentukan apakah anaknya menjadi laki-laki atau perempuan.
Seperti sudah kita ketahui, laki-laki memiliki dua kromosom
kelamin yang berbeda, yaitu kromosom XY. Sedangkan wanita memiliki dua kromosom
yang sama, yaitu kromosom XX. Karena itulah laki-laki memiliki sperma-sperma X
dan sperma-sperma Y, dengan jumlah yang sama. Sedangkan semua sel telur wanita
adalah kromosom-kromosom X.
Yang terjadi kemudian adalah jika sperma X membuahi sel telur
wanita, maka bayi perempuan (XX) yang diperoleh. Sedangkan jika sel telur
dibuahi oleh sperma Y, maka bayi laki-laki (XY) yang diperoleh.
FAKTOR PENENTU
Yang dipertanyakan lebih jauh, apakah terjadinya bayi laki-laki
atau perempuan terjadi berdasarkan kebetulan semata? Maksudnya, apakah pertemuan
sperma X dan sperma Y, atau sperma X dengan sperma Y, terjadi begitu saja?
Hasil penelitian menunjukkan, masing-masing kromosom memiliki
karakter dan struktur yang unik. Sperma Y bersinar terang, bentuknya bundar,
ukurannya hanya sepertiga dari kromosom X, jalannya gesit, tetapi lebih cepat
musnah. Sedangkan sperma X bentuknya panjang, besar, jalannya lamban, dan
bertahan hidup lebih lama.
Hal tersebut dikaitkan dengan kondisi wanita di antara dua
periode menstruasi. Pada masa subur wanita, sebuah sel telur yang sudah masak
meninggalkan indung telur (ovulasi). Sel ini hanya bisa dibuahi hanya dalam
jangka waktu 12 jam.
Apakah anak yang dihasilkan perempuan atau laki-laki tergantung
pada sperma mana yang dalam waktu dua belas jam berhasil bertemu dengan sel
telur wanita. Kalau sperma X yang lebih dulu bertemu dengan sel telur, maka
terbentuk bayi perempuan. Kalau sperma Y yang lebih dulu bertemu dengan sel
telur maka yang terbentuk bayi laki-laki.
Apabila pasangan suami-istri melakukan hubungan intim saat
terjadi ovulasi, kemungkinan besar bayi yang bakal lahir laki-laki. Sebab,
ketika sperma X dan sperma Y berlomba-lomba berusaha mencapai sel telur, sperma
Y yang jauh lebih gesit akan bertemu sel telur lebih dulu.
Sebaliknya jika hubungan intim dilakukan sebelum tiba ovulasi,
kemungkinan bayinya perempuan. Karena sperma sudah lebih dulu ada sebelum sel
telur dilepaskan. Maka sperma X mempunyai peluang lebih besar, karena bisa
bertahan hidup lebih lama. Sedangkan sperma Y sudah musnah sebelum terjadi
ovulasi.
Tentu saja metode ini pun masih sulit dipertahankan kebenarannya.
Karena bagaimana suami bisa menghitung dengan tepat bahwa sperma X yang akan
mencapai sel telur, atau sebaliknya.
Untuk mengetahui lebih akurat kapan saat ovulasi, seorang wanita
harus mengukur suhu tubuhnya selama tiga bulan berturut-turut. Caranya,
letakkan termometer di mulut setiap pagi sebelum turun dari tempat tidur.
Hasilnya dicatat dalam sebuah tabel. Hari-hari di mana termometer menunjukkan
suhu tubuh yang terus meningkat selama beberapa hari merupakan saat terjadi
ovulasi.
INSEMINASI BUATAN
Metode di atas kemudian berkembang lagi dengan inseminasi buatan.
Sebelum pembuahan, sperma yang dihasilkan dari masturbasi atau coitus
interuptus, dipisahkan di laboratorium. Sperma ini kemudian dimasukkan ke dalam
tabung khusus yang sudah diisi dengan tiga lapisan serum albumin dengan kadar
kekentalan yang berbeda. Serum albumin adalah salah satu unsur dari darah manusia.
Perlahan-lahan sperma Y yang lebih cepat dan gesit akan mencapai
lapisan paling bawah. Sedangkan sperma X akan mencapai lapisan tengah, karena
gerakannya lebih lamban. Lalu, sperma yang menempati lapisan paling bawah
(sperma Y) disedot keluar. “Sperma yang mencapai lapisan ini merupakan kualitas
unggul,” ujar Prof. Arjatmo.
Sementara untuk memisahkan sperma-sperma X digunakan tabung
dengan lubang kecil yang digantungkan di atas alat penampung dan diisi dengan
cairan kental (gel). Sperma Y akan tertahan karena ketegangan permukaan. Sperma
X yang lebih berat dan besar berusaha menembus cairan kental itu menuju tempat
penampungan.
Usai pemisahan, sperma-sperma itu akan disuntikkan ke dalam
rahim. Bertepatan dengan saat terjadi ovulasi, yang sudah diperkirakan oleh
dokter. Proses pemisahan dilakukan oleh ahli andrologi, sedangkan
penyuntikannya dilakukan oleh dokter kandungan.
Proses dari pemisahan sampai kemudian disuntikkan ke dalam rahim,
hanya berlangsung selama 1,5 – 2 jam saja. “Sangat cepat, karena harus
memperhitungkan mutu sperma,” jelas Prof. Arjatmo yang juga berpraktek di RSB
Budhi Jaya ini.
Sebagai catatan, sperma hanya bertahan hidup di luar selama 4-5
jam saja. Sedangkan jika terjadi pembuahan alamiah, sperma mampu bertahan hidup
selama 10 jam di dalam rahim wanita.
Sayangnya metode ini pun tak menjamin keberhasilan mutlak.
Hanya memberi jaminan keberhasilan 80 persen untuk bayi
laki-laki dan 70 persen untuk bayi perempuan.
Nah, buat pasangan yang memang menginginkan pengendalian jenis
kelamin anak, bisa berkonsultasi dengan ahli andrologi yang umumnya dimiliki
rumah sakit bersalin. Untuk lebih jelasnya Anda bisa menanyakan hal ini kepada
dokter kandungan yang menangani Anda. Setidaknya, dengan perencanaan yang
matang, apa yang menjadi harapan suami-istri bisa terwujud.
Tentu saja ketidakberhasilan tidak harus berakhir dengan saling
menyalahkan. Toh, manusia hanya boleh merencanakan tetapi Tuhanlah yang
menentukan.
http://www.fakultaskesehatan.com/penentuan-jenis-kelamin-bayi.html
Posting Komentar