Dalam
sebuah hadits shahih, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Agama adalah nasihat.” Lalu dikatakan, “Untuk siapa, wahai Rasulullah?”
Beliau menjawab, “Untuk Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, para imam kaum
muslimin, dan seluruh kaum muslimin.”
Memang
benar, sebuah nasihat akan banyak membawa manfaat apabila nasihat tersebut
bersumber dari ilmu yang terambil dari al-Qur’an dan as-Sunnah. Namun, sebuah
nasihat yang tidak berlandaskan ilmu, justru akan membawa malapetaka dan
kehancuran, karena pada hakikatnya hal itu bukanlah nasihat, melainkan
bisikan-bisikan dan was-was setan. Masalahnya, apakah sebuah nasihat hanya
boleh dilakukan oleh kaum laki-laki saja dan tidak mungkin dilakukan oleh kaum
wanita?
Kisah berikut
ini menunjukkan, bahwa kaum Hawa pun dapat memberikan andil dalam memberikan
nasihat dan amar ma’ruf nahi munkar sesuai dengan kemampuan mereka.
Semoga bermanfaat. Allahul-Muwaffiq.
***
Alkisah ***
Imam Malik
rahimahullah meriwayatkan sebuah kisah dalam kitab al-Muwaththa’,
dari Yahya bin Sa’id dari al-Qasim bin Muhammad, bahwa dia berkata, “Salah satu
istriku meninggal dunia, lalu Muhammad bin Ka’ab al-Qurazhi mendatangiku untuk
bertakziah atas (kematian) istriku, lalu beliau mengatakan, Sesungguhnya,
dahulu di zaman Bani Israil ada seorang laki-laki yang faqih, ‘alim,
abid, dan mujtahid. Dia memiliki seorang istri yang sangat ia
kagumi dan cintai. Lalu meninggallah sang istri tersebut, sehingga membuat
hatinya sangat sedih. Dia merasa sangat berat hati menerima kenyataan tersebut,
sampai-sampai ia mengunci pintu, mengurung diri di dalam rumah, dan memutus
segala hubungan dengan manusia, sehingga tidak ada seorang pun yang dapat
bertemu dengannya.
Lalu ada
seorang wanita cerdik yang mendengar berita tersebut, maka dia pun datang ke
rumah Sang Alim seraya mengatakan kepada manusia, “Sungguh, saya sangat
memerlukan fatwa darinya dan saya tidak ingin mengutarakan permasalahan saya,
melainkan harus bertemu langsung dengannya.” Akan tetapi, semua manusia tidak
ada yang menghiraukannya. Walau demikian, ia tetap berdiri di depan pintu
menunggu keluarnya Sang Alim. Dia berujar, "Sungguh, saya sangat ingin
mendengarkan fatwanya. Lalu, salah seorang menyeru, ‘(Wahai Sang Alim) sungguh
di sini ada seorang wanita yang sangat menginginkan fatwamu." Dan
wanita itu menambahkan, "Dan aku tidak ingin mengutarakannya melainkan
harus bertemu langsung dengannya tanpa ada perantara." Akan tetapi,
manusia pun tetap tidak menghiraukannya. Meski demikian, dia tetap berdiri di
depan pintu dan tidak mau beranjak.
Akhirnya, Sang Alim menjawab, ‘Izinkanlah
dia masuk.’ Lalu, wanita itu pun masuk dan mengatakan, “Sungguh, aku
datang kepadamu karena suatu pemasalahan." Sang Alim menjawab, “Apakah
pemasalahanmu?’ Wanita memaparkan, “Sungguh, aku telah meminjam
perhiasan kepada salah satu tetanggaku dan aku selalu memakainya sampai
beberapa waktu lamanya, lalu suatu ketika mereka mengutus seseorang kepadaku
untuk mengambil kembali barang itu kepadanya?" Maka, Sang Alim
menjawab, ‘Iya, demi Allah, engkau harus memberikan kepada mereka.’ Lalu
sang wanita menyangkal, ‘Tetapi, aku telah memakainya sejak lama sekali.’
Sang Alim menjawab, ‘Tetapi mereka lebih berhak untuk mengambil kembali
barang yang telah dipinjamkan kepadamu sekalipun telah sejak lama.’ Lalu,
wanita itu mengatakan, ‘Wahai Sang Alim, semoga Allah Subhanahu wa ta’ala
merahmatimu. Mengapakah engkau juga merasa berat hati untuk mengembalikan
sesuatu yang telah dititipkan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepadamu, lalu Allah
Subhanahu wa Ta’ala ingin mengambil kembali titipan-Nya, sedang Dia lebih
berhak untuk mengambilnya darimu?’ Maka, dengan ucapan itu tersadarlah Sang
Alim atas peristiwa yang sedang menimpanya dan Allah Subhanahu wa Ta’ala
telah menjadikan perkataan si wanita tersebut dapat bermanfaat dan menggugah
hatinya.
Kisah di atas diriwayatkan oleh Imam
Malik dalam al-Muwaththa’ dalam kitab al-Jana’iz Bab
Jami’ul-Hasabah fil-Mushibah (163).
Syaikh Syu’aib al-Arna’uth dalam tahqiq
beliau terhadap kitab Jami’ul-Ushul (6/339) berkata, “Kisah di atas
sampai kepada Muhammad bin Ka’ab al-Qurazhi dengan sanad shahih.”
***
Ibrah ***
Musibah
adalah ujian dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebagai pengukur keimanan
hamba. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ حَتَّى نَعْلَمَ الْمُجَاهِدِينَ مِنكُمْ
وَالصَّابِرِينَ وَنَبْلُوَا أَخْبَارِكُمْ
“Dan sesungguhnya, Kami
benar-benar akan menguji kamu agar Kami mengetahui orang-orang yang berjihad
dan bersabar di antara kamu, dan agar Kami menyatakan (baik buruknya) hal
ihwalmu.” (Qs. Muhammad: 31).
Kesabaran sangat dibutuhkan tatkala
kita dilanda musibah. Kewajiban setiap muslim ketika mendapat musibah ialah
mengharap kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala pahala dan ganti yang lebih
baik. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kepada kita
membaca doa tatkala tertimpa suatu musibah. Beliau mengatakan,
مَا مِنْ مُسْلِمٍ تُصِيْبُهُ مُصِيْبَةٌ فَيَقُوْلُ مَا
أَمَرَهُ اللهُ إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ اللَّهُمَّ أَجِرْنِي
مِصِيْبَتِي وَأَخْلِفُ لِي خَيْرًا مِنْهَا إِلاَّ أَخْلَفَ اللهُ لَهُ خَيْرًا
مِنْهَا
“Tidaklah seorang muslim yang
tertimpa suatu musibah lalu membaca sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah
(yaitu), ‘Sesungguhnya kami milik Allah Subhanahu wa Ta’ala dan kepada-Nya
jualah kita akan dikembalikan. Ya Allah, berilah pahala pada musibah yang
menimpaku dan berilah ganti yang lebih baik darinya’ melainkan Allah Subhanahu
wa Ta’ala akan memberinya ganti yang lebih baik daripada yang sebelumnya.
(HR. Musim, 4/475, at-Tirmidzi, 11/417, Ahmad, 33/82).
Dengan demikian, sungguh sangatlah
indah perkara yang terjadi pada diri seorang muslim. Karena semua perkara yang
menimpanya –berupa kenikmatan maupun kesulitan, kelapangan maupun musibah—
semuanya adalah baik baginya, sebagaimana yang Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam sifatkan dalam sabdanya,
عَجَبًا لأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ
وَلَيْسَ ذَاكَ لأَحَدٍ لِلْمُؤْمِنِ إِنَّ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ
خَيْرًا لَهُ وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ
“Sungguh mengherankan perkara
(urusan) orang muslim, semua perkara (urusan)nya baik dan hal itu tidaklah
terjadi kecuali pada diri seorang muslim. Apabila diberi kenikmatan ia
bersyukur maka hal itu baik baginya. Dan apabila ditimpa kesulitan ia bersabar
maka hal itu pun baik baginya.” (HR. Muslim. 14/280).
Beratnya cobaan sering menjadikan
manusia lupa dengan takdir Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kita semua adalah
milik Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan kepada-Nya pulalah kita akan
dikembalikan. Namun, kebanyakan manusia tidak menyadari hal ini, sehingga
mereka melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syariat. Mereka
berlarut-larut dalam kesedihan, sehingga melalaikan dirinya sendiri. Bahkan,
terkadang mereka berteriak-teriak histeris, memukul-mukul wajah, merobek-robek
baju, dan mengeluarkan ucapan-ucapan yang dilarang oleh syariat, padahal
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَطَمَ الْخُدُودَ وَشَقَّ الْجُيُوبَ
وَدَعَا بِدَعْوَى الْجَاهِلِيَّةِ
“Bukan termasuk golongan kami seorang
yang menampar-nampar pipi, merobek-robek baju, dan menyeru dengan seruan-seruan
jahiliah.” (HR. Bukhari, 5/41, at-Tirmidzi, 4/119, an-Nasa’i, 6/408).
Bersedih adalah suatu kewajaran
terutama karena ditinggal oleh orang-orenga yang sangat dicintai. Akan tetapi,
janganlah kesedihan tersebut melampaui batas dari yang dibolehkah. Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ الْعَيْنَ تَدْمَعَ وَالْقَلْبَ يَحْزَنُ وَلاَ نَقُولُ
إِلاَّ مَا يُرْضِي رَبَّنَا
“Mata boleh menangis, hati boleh
bersedih, tetapi kita tidak berkata-kata kecuali hanya (dengan perkataan) yang
diridhai oleh Rabb (Tuhan –ed.) kita.” (HR. al-Bukhari: 5/57).
Memang, setang sangatlah lihai dalam
mencari celah untuk menjerumuskan anak Adam. Dari sinilah pentingnya saling
menasihati dalam kebenaran dan kesabaran. Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman,
وَذَكِّرْ فَإِنَّ الذِّكْرَى تَنفَعُ الْمُؤْمِنِينَ
“Dan tetaplah memberi peringatan,
karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman.”
(Qs. adz-Dzariyat: 55).
Hanya saja, cara kita memberikan
nasihat harus benar-benar diperhatikan. Cara menasihati seorang waliyul-amri
(penguasa) berbeda dengan cara menasihati rakyat. Menasihati orang tua berbeda
dengan cara menasihati anak kita sendiri. Demikian pula, cara menasihati
seorang yang alim yang memiliki pengaruh dan ucapan yang didengar oleh
masyarakat hendaklah berbeda dengan cara kita menasihati seorang yang awam.
Hendaklah menasihati dengan cara yang lembut, dengan kata-kata yang halus, dan
tidak dilakukan di depan khalayak ramai, sebagaimana yang telah dilakukan
wanita tersebut. Mudah-mudahan dengan itu mereka akan tersadar dan kembali pada
jalan yang benar. Karena, seorang alim bukanlah orang yang ma’shum yang
terbebas dari kesalahan. Mereka pun manusia biasa yang banyak melakukan
kesalahan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كُلُّ بَنِي آدَمَ خَطَّاؤٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِيْنَ
التَّوَّابُونَ
“Setiap anak Adam banyak
melakukan kesalahan, dan sebaik-baik orang yang berbuat kesalahan adalah yang
bertaubat darinya.” (HR. at-Tirmidzi, 9/59, Ibnu Majah, 12/302, Ahmad,
26/123).
Mutiara
Kisah
Beberapa
pejalaran penting yang dapat kita rangkum dari kisah di atas adalah:
1.
Terkadang seorang ahlul ilmi dapat lupa dan lalai dari ilmu yang selama
ini ia ajarkan. Sebagaimana kisah Sang Alim yang faqih di atas, dia
telah lupa terhadap apa yang selama ini selalu dia ajarkan tentang wajibnya
seorang untuk tetap bersabar di kala terkena musibah.
2.
Kewajiban bagi para ahlu ra’yi dan yang siapa saja yang memiliki
pemahaman, hendaklah mengingatkan saudaranya yang lain dari hal-hal yang
terkadang terlalaikan darinya. Dan hal ini tidak terbatas hanya dilakukan oleh
kaum laki-laki saja, melainkan kaum wanita pula apabila memang memiliki kemampuan
dalam hal tersebut. Tentunya hal itu dilakukan apabila aman dari fitnah dan
tidak melanggar larangan dan keharaman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
seperti yang telah dilakukan oleh wanita dalam kisah di atas yang dapat
menyadarkan kembali seorang alim yang tengah lalai dari peristiwa besar yang
menimpanya.
3.
Ilmu dan pemahaman adalah titik temu yang menjadi persamaan antara laki-laki
dan wanita, karena ilmu bukanlah hak yang dimonopoli oleh kaum laki-laki saja.
Kaum wanita pun berhak mengenyam ilmu dan pemahaman. Bahkan, kejadian-kejadian
yang terjadi pada diri seorang wanita menuntut mereka untuk lebih mengilmui
hukum-hukum syariat. Thaharoh (bersuci), mendidik anak, dan lain-lain
adalah permasalahan yang sangat membutuhkan ilmu dan pemahaman yang benar.
4.
Pentingnya membuat suatu permisalan dalam menjelaskan suatu permasalahan,
karena sebuah contoh dapat menggambarkan suatu masalah dengan lebih jelas. Dan
ini pulalah metode al-Qur’an dalam menjelaskan sebuah permasalahan. Perhatikanlah
ayat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang menjelaskan tentang kalimat tauhid
dan kalimat-kalimat kekufuran. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
أَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللهُ مَثَلاً كَلِمَةً طَيِّبَةً
كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ أَصْلُهَا ثَابِتٌ وَفَرْعُهَا فِي السَّمَآءِ {24} تُؤْتِي
أُكُلَهَا كُلَّ حِينٍ بِإِذْنِ رَبِّهَا وَيَضْرِبُ اللهُ اْلأَمْثَالَ لِلنَّاسِ
لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ {25} وَمَثَلُ كَلِمَةٍ خَبِيثَةٍ كَشَجَرَةٍ
خَبِيثَةٍ اجْتُثَّتْ مِن فَوْقِ اْلأَرْضِ مَالَهَا مِن قَرَارٍ
“Tidakkah kamu perhatikan bagaimana
Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik,
akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit, pohon itu memberikan buahnya
pada setiap musim dengan seizin Rabb-nya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan
itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat: Dan perumpamaan kalimat yang
buruk seperti pohon yang buruk, yang telah dicabut dengan akar-akarnya dari
permukaan bumi; tidak dapat tetap (tegak) sedikit pun.” (Qs. Ibrahim:
24-26).
5.
Disenangi menghibur manusia dengan menyebutkan kabar-kabar orang-orang
terdahulu dan kisah-kisah berharga yang sarat dengan pelajaran. Terlebih
apabila kisah-kisah tersebut bersesuaian dengan keadaan orang yang sedang
diberi nasihat, karena metode yang demikian akan lebih menggugah hatinya dan
menyadarkan dari kelalaiannya sehingga ia dapat terhibur dan mengambil
pelajaran dari kisah-kisah tersebut.
Wallahu A’lam.
Sumber: Majalah Al Furqon, Edisi 4
th. ke-8 1429 H/2008
Posting Komentar