Menempelkan
label Islami memang mudah. Namun ketika yang dilekati adalah hal-hal
yang menyimpang dari ajaran Islam, maka perkaranya menjadi berat
pertanggungjawabannya di hadapan Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman dalam Al-Qur`an yang mulia:
ظَهَرَ
الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ
لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
“Telah
tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan
manusia, agar Allah merasakan kepada mereka sebagian dari akibat
perbuatan mereka, mudahan-mudahan mereka mau kembali ke jalan yang
benar.” (Ar-Rum: 41)
‘Ala`uddin
Ali bin Muhammad bin Ibrahim Al-Baghdadi rahimahullahu yang masyhur
dengan sebutan Al-Khazin menyatakan dalam tafsirnya terhadap ayat di
atas. “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut”, karena kesyirikan
dan maksiat tampaklah kekurangan hujan (kemarau) dan sedikitnya tanaman
yang tumbuh di daratan, di lembah, di padang sahara yang tandus dan di
tanah yang kosong. Kurangnya hujan ini selain berpengaruh pada daratan
juga membawa pengaruh pada lautan, di mana hasil laut berupa mutiara
menjadi berkurang. (Tafsir Al-Khazin, 3/393)
Kerusakan
banyak terjadi di darat dan di laut, berupa rusak dan kurangnya
penghidupan/pencaharian manusia, tertimpanya mereka dengan berbagai
penyakit dan wabah serta perkara lainnya karena perbuatan-perbuatan
rusak/jelek yang mereka lakukan. Semua itu ditimpakan kepada mereka agar
mereka mengetahui bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala akan membalas apa
yang mereka perbuat. Diharapkan dengan semua itu mereka mau bertaubat
dari perbuatan jelek mereka. Demikian kata Asy-Syaikh Abdurrahman
As-Sa’di rahimahullahu dalam Taisir Al-Karimir Rahman, hal. 634.
Demikianlah,
kerusakan dapat kita jumpai di mana-mana. Jangankan di kota besar,
bahkan di pedesaan sekalipun. Belum lagi musibah yang terjadi hampir di
seluruh negeri. Semua itu tidak lain penyebabnya karena dosa anak
manusia.
Abul ‘Aliyah rahimahullahu berkata,
“Siapa
yang bermaksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala di muka bumi maka
sungguh ia telah membuat kerusakan di bumi. Karena kebaikan di bumi dan
di langit diperoleh dengan ketaatan.” (Tafsir Al-Qur`anil ‘Azhim, 6/179)
Pergaulan
anak muda yang rusak merupakan salah satu penyebab kerusakan tersebut.
Hubungan pra nikah dianggap sah. Pacaran boleh-boleh saja, bahkan
dianggap suatu kewajaran dan tanda kewajaran anak muda.
Di
lembar ini, bukan hubungan mereka (baca: yang awam) yang ingin kita
bicarakan, karena telah demikian jelas penyimpangan dan kerusakannya!
Para pemuda pemudi yang katanya punya ghirah terhadap Islam, yang aktif
dalam organisasi Islam, training-training pembinaan keimanan dan
kegiatan-kegiatan Islami lah yang hendak kita tuju. Mungkin karena
kedangkalan terhadap ilmu-ilmu Islam atau terlalu mendominasinya hawa
nafsu, mereka memunculkan istilah “pacaran Islami” dalam pergaulan
mereka. Bagaimana pacaran Islami yang mereka maukan? Jelas karena diberi
embel-embel Islam, mereka hendak berbeda dengan pacaran orang
awam/jahil. Tidak ada saling sentuhan, tidak ada pegang-pegangan, tidak
ada kata-kata kotor dan keji. Masing-masing menjaga diri. Kalaupun
saling berbincang dan bertemu, yang menjadi pembicaraan hanyalah tentang
Islam, tentang dakwah, tentang umat, saling mengingatkan untuk beramal,
berdzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, mengingatkan negeri
akhirat, tentang surga dan neraka. Begitu katanya!
Pacaran
yang dilakukan hanyalah sebagai tahap penjajakan. Kalau cocok,
diteruskan sampai ke jenjang pernikahan. Kalau tidak, diakhiri dengan
cara baik-baik. Dulu penulis pernah mendengar ucapan salah seorang
aktivis mereka dalam suatu kajian keIslaman untuk mengalihkan anak-anak
muda Islam dari merayakan Valentine Day, “Daripada pemuda Islam, ikhwan
sekalian, pacaran dengan wanita-wanita di luar, yang tidak berjilbab,
tidak shalihah, lebih baik berpasangan dengan seorang muslimah yang
shalihah.”
Darimanakah
mereka mendapatkan pembenaran atas perbuatan mereka? Benarkah mereka
telah menjaga diri dari perkara yang haram atau malah mereka terjerembab
ke dalamnya dengan sadar ataupun tidak? Ya, setanlah yang
menghias-hiasi kebatilan perbuatan mereka sehingga tampak sebagai
kebenaran. Mereka memang –katanya– tidak bersentuhan, tidak pegangan
tangan, tidak ini dan tidak itu… Sehingga jauh dan jauh mereka dari
keinginan berbuat nista (baca: zina), sebagaimana pacarannya para
pemuda-pemudi awam/jahil yang pada akhirnya menyeret mereka untuk
berzina dengan pasangannya. Na’udzubillah!!! Namun tahukah mereka
(anak-anak muda yang katanya punya kecintaan kepada Islam ini) bahwa
hati mereka tidaklah selamat, hati mereka telah terjerat dalam fitnah
dan hati mereka telah berzina? Demikian pula mata mereka, telinga
mereka?
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah mengingatkan dalam sabdanya:
إِنَّ
اللهَ كَتَبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ حَظَّهُ مِنَ الزِّنَا أَدْرَكَ ذَلِكَ
لاَ مَحَالَةَ، فَزِنَا الْعَيْنِ النَّظَرُ، وَزِنَا اللِّسَانِ
الْمَنْطِقُ، وَالنَّفْسُ تَمَنَّى وَتَشْتَهِي، وَالْفَرْجُ يُصَدِّقُ
ذَلِكَ أَوْ يُكَذِّبُهُ
“Sesungguhnya
Allah menetapkan atas anak Adam bagiannya dari zina1. Dia akan
mendapatkannya, tidak bisa tidak. Maka, zinanya mata adalah dengan
memandang (yang haram) dan zinanya lisan adalah dengan berbicara.
Sementara jiwa itu berangan-angan dan berkeinginan, sedangkan kemaluan
yang membenarkan semua itu atau mendustakannya.” (HR. Al-Bukhari no.
6243 dan Muslim no. 2657 dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu)
Dalam lafadz lain disebutkan:
كُتِبَ
عَلَى ابْنِ آدَمَ نَصِيْبُهُ مِنَ الزِّنَى، مُدْرِكُ ذَلِكَ لاَ
مَحَالَةَ، فَالْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ، وَالْأُذُنَانِ
زِنَاهُمَا الْاِسْتِمَاعُ، وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكلامُ، وَالْيَدُ
زِنَاهَا الْبَطْشُ، وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا وَالْقَلْبُ يَهْوَى
وَيَتَمَنَّى، وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ أَوْ يُكَذِّبُهُ
“Ditetapkan
atas anak Adam bagiannya dari zina, akan diperoleh hal itu, tidak bisa
tidak. Kedua mata itu berzina, dan zinanya dengan memandang (yang
haram). Kedua telinga itu berzina, dan zinanya dengan mendengarkan (yang
haram). Lisan itu berzina, dan zinanya dengan berbicara (yang
diharamkan). Tangan itu berzina, dan zinanya dengan memegang. Kaki itu
berzina, dan zinanya dengan melangkah (kepada apa yang diharamkan).
Sementara, hati itu berkeinginan dan berangan-angan, sedangkan kemaluan
yang membenarkan semua itu atau mendustakannya.” (HR. Muslim no. 2657)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu berkata:
“Makna
dari hadits di atas adalah anak Adam itu ditetapkan bagiannya dari
zina. Maka di antara mereka ada yang melakukan zina secara hakiki dengan
memasukkan kemaluannya ke dalam kemaluan yang haram (untuk dimasuki
karena bukan pasangan hidupnya yang sah, pent.). Dan di antara mereka
ada yang zinanya secara majazi (kiasan) dengan memandang yang haram,
mendengar perbuatan zina dan perkara yang mengantarkan kepada zina, atau
dengan sentuhan tangan di mana tangannya meraba wanita yang bukan
mahramnya atau menciumnya, atau kakinya melangkah untuk menuju ke tempat
berzina, atau untuk melihat zina, atau untuk menyentuh wanita non
mahram atau untuk melakukan pembicaraan yang haram dengan wanita non
mahram dan semisalnya, atau ia memikirkan dalam hatinya. Semuanya ini
termasuk zina secara majazi. Sementara kemaluannya membenarkan semua itu
atau mendustakannya. Maknanya, terkadang ia merealisasikan zina
tersebut dengan kemaluannya, dan terkadang ia tidak merealisasikannya
dengan tidak memasukkan kemaluannya ke dalam kemaluan yang haram,
sekalipun dekat dengannya.” (Syarhu Shahih Muslim, 16/206)
Dengan
pacaran yang mereka beri embel-embel Islam, adakah mereka dapat menjaga
pandangan mata mereka dari melihat yang haram? Sementara memandang
wanita ajnabiyyah (non mahram) atau laki-laki ajnabi termasuk perbuatan
yang diharamkan.
Allah Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan:
قُلْ
لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ
ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ. وَقُلْ
لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ
“Katakanlah
(wahai Muhammad) kepada laki-laki yang beriman: ‘Hendaklah mereka
menahan sebagian pandangan mata mereka dan memelihara kemaluan mereka,
yang demikian itu lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui apa yang mereka perbuat.’ Dan katakanlah kepada wanita-wanita
yang beriman: ‘Hendaklah mereka menahan sebagian pandangan mata mereka
dan memelihara kemaluan mereka…’.” (An-Nur: 30-31)
Tidakkah
mereka tahu bahwa wanita merupakan fitnah yang terbesar bagi laki-laki?
Sebagaimana dinyatakan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam
sabda beliau:
مَا تَرَكْتُ بَعْدِي فِتْنَةً هِيَ أَضَرُّ عَلَى الرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ
“Tidaklah
aku tinggalkan setelahku fitnah yang lebih berbahaya bagi laki-laki
daripada fitnahnya wanita.” (HR. Al-Bukhari no. 5096 dan Muslim no.
6880)
Di
samping itu, dengan pacaran “Islami” ala mereka, mereka tentu tidak
akan lepas dari yang namanya khalwat (berdua-duaan dengan lawan jenis)
dan ikhtilath (bercampur baur antara laki-laki dan perempuan tanpa
adanya hijab/tabir penghalang).
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda:
لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلاَّ مَعَ ذِي مَحْرَمٍ
“Sekali-kali
tidak boleh seorang laki-laki bersepi-sepi dengan seorang wanita
kecuali wanita itu bersama mahramnya.” (HR. Al-Bukhari no. 1862 dan
Muslim no. 3259)
Al-Qadhi Iyadh rahimahullahu berkata,
“Wanita
adalah fitnah, sehingga laki-laki ajnabi dilarang bersepi-sepi
dengannya. Karena jiwa-jiwa manusia diciptakan punya
kecenderungan/syahwat terhadap wanita, dan setan akan menguasai mereka
dengan perantaraan para wanita.”
Beliau
juga mengatakan bahwa wanita adalah aurat yang sangat urgen untuk
dijaga dan dipelihara. Dan mahramnya sebagai orang yang memiliki
kecemburuan terhadapnyalah yang akan melindungi dan menjaganya.
(Al-Ikmal, 4/448)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu menyatakan,
“Adapun
bila seorang laki-laki ajnabi berdua-duaan dengan wanita ajnabiyah
tanpa ada orang ketiga bersama keduanya, maka hukumnya haram menurut
kesepakatan ulama. Demikian pula bila bersama keduanya hanya ada
seseorang yang biasanya orang tidak sungkan/tidak merasa malu berbuat
sesuatu di hadapannya karena usianya yang masih kecil, seperti anak
laki-laki yang baru berumur dua atau tiga tahun dan yang semisalnya.
Karena keberadaan orang seperti ini sama saja seperti tidak adanya.”
(Al-Minhaj, 9/113)
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda:
لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلاَّ كَانَ ثَالِثَهُمَا الشَّيْطَانُ
“Tidaklah
sekali-kali seorang laki-laki bersepi-sepi dengan seorang wanita
melainkan yang ketiganya adalah setan.” (HR. At-Tirmidzi no. 1171,
dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan
At-Tirmidzi)
Karena bahayanya fitnah wanita dan bersepi-sepi dengan wanita, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sampai memperingatkan:
إِيَّاكُمْ
وَالدُّخُوْلَ عَلَى النِّسَاءِ. فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ اْلأَنْصَارِ: يَا
رَسُوْلَ اللهِ، أَفَرَأَيْتَ الْحَمْوَ؟ قَالَ: الْحَمْوُ الْمَوْتُ
“Hati-hati
kalian masuk ke tempat para wanita!” Berkatalah seseorang dari kalangan
Anshar, “Wahai Rasulullah! Apa pendapat anda dengan ipar?” Beliau
menjawab, “Ipar adalah maut.” (HR. Al-Bukhari no. 5232 dan Muslim no.
5638)
Ipar
di sini adalah kerabat suami selain ayah dan anak laki-lakinya. Makna
“Ipar adalah maut”, kata Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu, bahwa
kekhawatiran terhadap ipar lebih besar daripada orang selainnya.
Kejelekan bisa terjadi darinya dan fitnahnya lebih besar. Karena
biasanya ia bisa masuk dengan leluasa menemui wanita yang merupakan
istri saudaranya atau istri keponakannya, serta memungkinkan baginya
berdua-duaan dengan si wanita tanpa ada pengingkaran, karena dianggap
keluarga sendiri. Beda halnya kalau yang melakukan hal itu laki-laki
ajnabi yang tidak ada hubungan keluarga dengan si wanita. (Al-Minhaj,
14/ 378)
Ketika
Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullahu
ditanya tentang hubungan kasih antara laki-laki dan perempuan yang
terjalin sebelum zawaj, beliau menjawab,
“Bila
yang dimaukan penanya, sebelum zawaj adalah sebelum dukhul (jima’)
setelah dilangsungkannya akad nikah, maka tidak ada dosa tentunya.
Karena dengan adanya akad berarti si wanita telah menjadi istrinya
walaupun belum dukhul. Namun bila yang dimaksud sebelum zawaj adalah
sebelum akad nikah, baru pelamaran atau belum sama sekali, maka yang ini
haram. Tidak boleh dilakukan. Tidak diperkenankan seorang lelaki
bernikmat-nikmat dengan seorang wanita ajnabiyah, baik dalam ucapan,
pandangan, maupun khalwat.” (Fatawa Al-Mar`ah Al-Muslimah, 2/600)
Seorang
laki-laki yang telah resmi melamar seorang wanita sekalipun, ia tetap
harus menjaga jangan sampai terjadi fitnah. Dengan diterimanya
pinangannya tidak berarti ia bisa bebas berbicara dan bercanda dengan
wanita yang akan diperistrinya, bebas surat-menyurat, bebas telepon,
bebas sms, bebas chatting, ngobrol apa saja. Karena hubungan keduanya
belum resmi, si wanita masih tetap ajnabiyah baginya. Lalu apatah lagi
orang yang baru sekadar pacaran belum ada peminangan, walaupun
diembel-embeli kata Islami?
Ada
seorang lelaki meminang seorang wanita. Di hari-hari setelah
peminangan, ia biasa bertandang ke rumah si wanita, duduk sebentar
bersamanya dengan didampingi mahram si wanita dalam keadaan si wanita
memakai hijab yang syar’i. Berbincanglah si lelaki dengan si wanita,
namun pembicaraan mereka tidak keluar dari pembahasan agama ataupun
bacaan Al-Qur`an. Ketika Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullahu dimintai
fatwa tentang hal ini, beliau menjawab, “Hal seperti itu tidak
sepantasnya dilakukan. Karena perasaan si lelaki bahwa wanita yang duduk
bersamanya telah dipinangnya secara umum akan membangkitkan syahwat.
Sementara bangkitnya syahwat kepada selain istri dan budak perempuan
yang dimiliki adalah sesuatu yang haram. Dan sesuatu yang mengantarkan
kepada keharaman, haram pula hukumnya.” (Fatawa Asy-Syaikh Muhammad
Shalih Al-‘Utsaimin, 2/748)
Permasalahan
senada ditanya kepada Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdillah
Al-Fauzan hafizhahullah, hanya saja pembicaraan si lelaki dengan si
wanita yang telah dipinangnya tidak secara langsung namun lewat telepon.
Beliau pun memberikan jawaban, “Tidak apa-apa seorang laki-laki
berbicara lewat telepon dengan wanita yang telah dipinangnya, bila
memang pinangannya telah diterima dan pembicaraan yang dilakukan dalam
rangka mencari pemahaman sebatas kebutuhan yang ada, tanpa adanya
fitnah. Namun bila hal itu dilakukan lewat perantara wali si wanita,
maka itu lebih baik dan lebih jauh dari keraguan/fitnah.
Adapun
pembicaraan yang biasa dilakukan laki-laki dengan wanita, antara pemuda
dan pemudi, padahal belum berlangsung lamaran di antara mereka, namun
hanya bertujuan untuk saling mengenal –sebagaimana yang mereka
istilahkan– maka ini mungkar, haram. Bisa mengarah kepada fitnah dan
menjerumuskan kepada perbuatan keji.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
فَلَا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلاً مَعْرُوفًا
“Maka
janganlah kalian tunduk (lembut mendayu-dayu) dalam berbicara sehingga
berkeinginan jeleklah orang yang di hatinya ada penyakit dan ucapkanlah
ucapan yang ma’ruf.” (Al-Ahzab: 32)
Seorang
wanita tidak sepantasnya berbicara dengan laki-laki ajnabi kecuali bila
ada kebutuhan, dengan mengucapkan perkataan yang ma’ruf, tidak ada
fitnah di dalamnya dan tidak ada keraguan (yang membuatnya dituduh
macam-macam).
Ulama
telah menyebutkan bahwa wanita yang sedang berihram melakukan talbiyah
tanpa mengeraskan suaranya. Dan di dalam hadits disebutkan:
إِذَا أَتَاكُمْ شَيْءٌ فِي صَلاَتِكُمْ، فَلْتُسَبِّحِ الرِّجَالُ وَلْتَصْفِقِ النِّسَاءُ
“Apabila
datang pada kalian sesuatu dalam shalat kalian, maka laki-laki
hendaklah bertasbih dan wanita hendaknya memukul tangannya.”
Hadits
di atas termasuk dalil yang menunjukkan bahwa wanita tidak semestinya
memperdengarkan suaranya kepada laki-laki yang bukan mahramnya, kecuali
dalam keadaan-keadaan yang dibutuhkan sehingga ia terpaksa berbicara
dengan laki-laki dengan disertai rasa malu. Wallahu a’lam.” (Al-Muntaqa
min Fatawa Fadhilatisy Syaikh Shalih bin Fauzan, 3/163,164)
Kita
baru menyinggung pembicaraan via telepon ataupun secara langsung. Lalu
bagaimana bila pemuda-pemudi berhubungan lewat surat?
Asy-Syaikh
Abdullah bin Abdurrahman dalam Fatawa Al-Mar`ah (hal. 58) ditanya,
“Bila seorang lelaki melakukan surat-menyurat dengan seorang wanita
ajnabiyah, hingga pada akhirnya keduanya saling jatuh cinta, apakah
perbuatan ini teranggap haram?” Beliau menjawab, “Perbuatan seperti itu
tidak boleh dilakukan, karena dapat membangkitkan syahwat di antara dua
insan. Dan syahwat tersebut mendorong keduanya untuk saling bertemu dan
terus berhubungan. Kebanyakan surat-menyurat seperti itu menimbulkan
fitnah dan menumbuhkan kecintaan kepada zina di dalam hati. Di mana hal
ini termasuk perkara yang menjatuhkan seorang hamba ke dalam perbuatan
keji, atau menjadi sebab yang mengantarkan kepada perbuatan nista.
Karenanya, kami memberikan nasihat kepada orang yang ingin memperbaiki
dan menjaga jiwanya agar tidak melakukan surat-menyurat yang seperti itu
dan menjaga diri dari pembicaraan dengan lawan jenis yang bukan
mahramnya. Semuanya dalam rangka menjaga agama dan kehormatannya. Dan
Allah Subhanahu wa Ta'ala-lah yang memberi taufik.”
Bila
ada yang berdalih bahwa isi surat-menyurat mereka jauh dari kata-kata
keji, tidak ada kata-kata gombal dan rayuan cinta di dalamnya, apatah
lagi dalam surat menyurat tersebut dikutip ayat-ayat Allah Subhanahu wa
Ta'ala, maka dijawab oleh Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Shalih
Al-‘Utsaimin rahimahullahu, “Tidak boleh bagi seorang lelaki, siapapun
dia, untuk surat-menyurat dengan wanita ajnabiyah. Karena hal itu akan
menimbulkan fitnah. Terkadang orang yang melakukan perbuatan demikian
menyangka bahwa tidak ada fitnah yang timbul. Akan tetapi setan terus
menerus menyertainya, hingga membuatnya terpikat dengan si wanita dan si
wanita terpikat dengannya.”
Asy-Syaikh rahimahullahu melanjutkan,
“Dalam
surat-menyurat antara pemuda dan pemudi ada fitnah dan bahaya yang
besar, sehingga wajib untuk menjauh dari perbuatan tersebut, walaupun
penanya mengatakan dalam surat menyurat tersebut tidak ada kata-kata
keji dan rayuan cinta.” (Fatawa Asy-Syaikh Muhammad Shalih Al-‘Utsaimin,
2/898)
Demikianlah… Lalu, masihkah ada orang-orang yang memakai label Islam untuk membenarkan perbuatan yang menyimpang dari kebenaran?
Wallahul musta’an.
Penulis : Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah
Posting Komentar